Rabu, 04 September 2013

kegagalan relativitas klasik

KEGAGALAN RELATIVITAS KLASIK
Teori Relativitas Einstein adalah teori yang sangat terkenal, tetapi sangat sedikit yang kita pahami. Utamanya, teori relativitas ini merujuk pada dua elemen berbeda yang bersatu ke dalam sebuah teori yang sama: relativitas umum dan relativitas khusus. Teori relativitas khusus telah diperkenalkan dulu, dan kemudian berdasar atas kasus-kasus yang lebih luas diperkenalkan teori relativitas umum.
Relativitas klasik (yang diperkenalkan pertama kali oleh Galileo Galilei dan didefinisikan ulang oleh Sir Isaac Newton) mencakup transformasi sederhana diantara benda yang bergerak dan seorang pengamat pada kerangka acuan lain yang diam (inersia). Jika kamu berjalan di dalam sebuah kereta yang bergerak, dan seseorang yang diam diatas tanah (di luar kereta) memperhatikanmu, kecepatanmu relatif terhadap pengamat adalah total dari kecepatanmu bergerak relatif terhadap kereta dengan kecepatan kereta relatif terhadap pengamat. Jika kamu berada dalam kerangka acuan diam, dan kereta (dan seseorang yang duduk dalam kereta) berada dalam kerangka acuan lain, maka pengamat adalah orang yang duduk dalam kereta tersebut.
Permasalahan dengan relatifitas ini terjadi ketika diaplikasikan pada cahaya, pada akhir 1800-an, untuk merambatkan gelombang melalui alam semesta terdapat substansi yang dikenal dengan eter, yang mempunyai kerangka acuan(sama seperti pada kereta pada contoh di atas). Eksperimen Michelson-Morley, bagaimanapun juga telah gagal untuk mendeteksi gerak bumi relatif terhadap eter, dan tak ada seorangpun yang bisa menjelaskan fenomena ini. Ada sesuatu yang salah dalam interpretasi klasik dari relatifitas jika diaplikasikan pada cahaya dan kemudian muncullah pemahaman baru yang lebih matang setelah Einstein datang untuk menjelaskan fenomena.
Pandangan paham Newton tentang alam memberi suatu kerangka nalar dasar yang membantu kita memahami sejumlah besar gejala alam. Pandangan tentanng ala mini, yang sebenarnya berasal dari Galileo, mengatakan bahwa ruang dan waktu adalah mutlak. Juga dikemukakan bahwa setiap percobaan yang dilakukan dalam kerangka acuan (pengamatan) kita barulah bermakna fisika apabila dapat dikaitkan dengan percobaan serupa yang dilakukan dalam kerangka acuan mutlak, yaitu sistem koordinat Kartesius semesta yang padanya tercantelkan jam-jam mutlak. Sebagai contoh, pernyataan yang lazim dikenal sebagai asas kelembaman (inersia) Galileo, mengatakan bahwa sebuah benda yang diam cenderung diam kecuali jika padanya dikenakan gaya luar.
Jika anda mencoba menguji asas ini dalam sebuah kerangka acuan yang mengalami percepatan, seperti sebuah mobil yang berhenti secara mendadak, atau sebuah komidi putar yang sangat cepat perputarannya, akan anda dapati bahwa asas ini tidak berlaku (dilanggar). Jadi, hukum-hukum Newton (termasuk asas kelembaman) tidak berlaku dalam kerangka acuan yang mengalami percepatan, kecuali dalam kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap. Kerangka acuan (yang bergerak dengan kecepatan tetap) ini, disebut kerangka lembam (inersial).
Peristiwa-peristiwa yang diamati dari berbagai kerangka lembam dapat tampak berbeda bagi masing-masing pengamat dalam tiap kerangka itu. Tetapi, mereka semua akan sependapat bahwa hukum-hukum Newton, kekekalan energi, dan seterusnya, tetap berlaku dalam kerangka acuan mereka. Pembandingan pengamatan-pengamatan yang dilakukan dalam berbagai kerangka lembam, memerlukan transformasi Galileo, yang mengatakan bahwa kecepatan (relative terhadap tiap kerangka lembam) mematuhi aturan jumlah yangpaling sederhana. Andaikanlah seorang pengamat O, dalam salah satu kerangka lembam mengukur kecepatan sebuah benda v; maka pengamat O’ dalam kerangka lembam lain, yang bergerak dengan kecepatan teteap u relatif terhadap O, akan mengukur bahwa benda yang sama ini bergerak dengan kecepatan
v’ = v – u.
Bahasan tentang transformasi kecepatan ini akan kita sederhanakan dengan memilih sistem koordinat dalam kedua kerangka acuan sedemikian rupa sehingga gerak relatif u selalu pada arah x. Untuk kasus ini, transformasi Galileo menjadi :

                        vx = vx – u                                            (2.1a)

                        v’y = vy                                                 (2.1b)

                        v’z = vz                                                 (2.1c)

Tampak bahwa hanya komponen x kecepatan yang terpengaruhi. Dengan mengintegrasikan persamaan pertama kita peroleh :

                        x’ = x – ut                                            (2.2) 

Sedangkan diferensiasinya memberikan

                                a’x = ax                                                 (2.3)

Persamaan (2.3) memperlihatkan mengapa hukum-hukum Newton tetap berlaku dalam kedua kerangka acuan itu. Selama u tetap (jadi du/dt = 0), kedua pengamat ini akan mengukur percepatan yang identik dan sependapat pada penerapan F = ma. Berikut adalah contoh penerapan transformasi Galileo : Dua mobil melaju dengan laju tetap di sepanjang sebuah jalan lurus dalam arah yang sama. Mobil A bergerak dengan laju 60 km/jam, sedangkan mobil B 40 km/jam. Masing-masing laju ini diukur relatif terhadap seorang pengamat di tanah. Berapakah laju mobil A terhadap mobil B?

Jawab  :
Misalkan O adalah pengamat di tanah yang mengamati mobil A bergerak dengan laju v = 60 km/jam. Anggaplah O’ bergerak dengan mobil B dengan laju u = 40 km/jam. Maka

                                                             v’ = v – u

                                                                = 60 km/jam – 40 km/jam

                                                                = 20 km/jam
Gejala gelombang secara umum dapat kita definisikan sebagai rambatan gangguan periodik melalui suatu zat perantara. Dengan cara apakah perambatan gelombang ini berlangsung, bergantung pada gaya-gaya yang bekerja antar partikel zat perantaranya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan mengapa segera setelah Maxwell memperlihatkan bahwa kehadiran gelombang elektromagnet diramalkan berdasarkan persamaan-persamaan elektromagnet klasik, para fisikawan segera melakukan berbagai upaya untuk mempelajari sifat zat perantara yang berperan bagi perambatan gelombang elektromagnet ini.
Zat perantara ini disebut eter. Namun, karena zat ini belum pernah teramati dalam percobaan, maka dipostulatkan bahwa ia tidak bermassa dan tidak tampak, tetapi mengisi seluruh ruangan fungsi dan fungsi satu-satunya hanyalah untuk merambatkan gelombang elektromagnet. Konsep eter ini sangat menarik perhatian karena sekurang-kurangnya dua alasan berikut. Pertama, sulit untuk membayangkan bagaimana sebuah gelombang dapat merambat tanpa memerlukan zat perantara (bayangkan gelombang air tanpa air). Kedua, pengertian dasar eter ini berkaitan erat dengan gagasan Newton tentang ruang mutlak, eter dikaitkan dengan Sistem Koordinat Semesta Agung. Dengan demikian, keuntungan sampingan yang bakal diperoleh dari penyelidikan terhadap eter ini adalah bahwa dengan mengamati gerak bumi mengarungi eter, akan terungkap pula gerak bumi relative terhadap “ruang mutlak”.
Percobaan Michelson-Morley
Percobaan awal yang paling saksama untuk mendapatkan bukti kehadiran eter dilakukan pada tahun 1887 oleh fisikawan Amerika, Albert A. Michelson dan rekannya E.W. Morley. Percobaan mereka pada dasarnya mempergunakan interferometer Michelson yang dirancang khusus bagi maksud ini. Dalam percobaan ini, seberkas cahaya monokromatik (satu warna) dipisahkan menjadi dua berkas yang dibuat melewati dua lintasan berbeda dan kemudian diperpadukan kembali. Karena adanya perbedaan panjang lintasan yang ditempuh kedua berkas, maka akan dihasilkan suatu pola interferensi .
Untuk sementara, marilah kita membayangkan bahwa bumi sedang bergerak mengarungi eter dalam arah AB. Pada pola interferensi, pita-pita gelap terjadi di tempat kedua berkas cahaya berinteferensi secara meminimumkan (destructive), sedangkan pita-pita terang di tempat interferensinya maksimum (constructive). Interferensi minimum dan maksimum brgantung pada beda fase antara kedua berkas cahaya. Ada dua saham (contribution) bagi beda fase ini. Yang pertama berasala dari beda jalan (AB-AC), karena salah satu berkas menempuh jarak yang lebih panjang, sedangkan saham kedua bagi beda fase ini ternyata akan selalu ada meskipun panjang kedua lintasan berkas tepat sama. Seberkas cahaya yang “berenang” mengarungi eter dalam arah lawan turut aliran eter akan berbeda waktu tempuhnya dengan yang melintasi dalam arah silang dan kembali.
Jika kita dapat memisahkan dan mengukur saham kedua ini, maka kita dapat menarik kesimpulan tentang “laju” aliran eter, dan dari sini pula tentang gerak bumi mengarungi eter. Sayangnya pemisahan seperti itu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin dapat dilakukan. Walaupun demikian, Michelson dan Morley menggunakan suatu metode cerdik untuk dapat menarik suatu kesimpulan tentang komponen saham kedua ini, yakni dengan memutarkan seluruh peralatan mereka sebanyak 90o. Saham bagi beda fase yang disebabkan oleh beda jalan, tentu saja tidak berubah, karena sekarang berkas sepanjang AC yang bergerak menuruti aliran eter, sedangkan yang sepanjang AB sekarang melawan aliran eter. Adanya perubahan tanda pada saham kedua ini diperkirakan bakal teramati sebagai perubahan pola frinji (fringes, atau pita) terang dan gelap bila peralatannya diputar. Setiap perubahan terang menjadi gelap atau gelap menjadi terang menggambarkan suatu perubahan fase sebesar 180o (setengah siklus), yang setara  dengan keterdahuluan atau keterlambatan waktu sebesar setengah periode (untuk cahaya tampak, besarnya sekitar 10 -15). Dari hubungan-hubungan yang kita turunkan bagi beda waktu antara rambatan lawan-turut silang, kita kemudian dapat menarik kesimpulan tentang laju bumi mengarungi eter.
Ketika Michelson dan Morley melakukan percobaan ini, mereka tidak mengamati adanya perubahan mencolok dalam pola frinji interferensi, yang mereka simpulkan hanyalah suatu pergeseran yang lebih kecil daripada 0,01 frinji, yang berhubungan dengan laju bumi mengarungi eter, paling tinggi 5 km/detik. Sebagai upaya terakhir, Michelson dan Morley bernalar bahwa mungkin gerak orbital bumi menghapus gerak translasi mengarungi eter. Jika hal ini benar, maka enam bulan kemudian, bumi akan bergerak dalam orbitnya pada arah yang berlawanan, sehingga dengan demikian penghapusan ini tidak akan terjadi. Ketika percobaan ini mereka ulangi enam bulan kemudian, kembali diperoleh hasil nihil.


POSTULAT EINSTEIN

            Permasalahan yang dimunculkan percobaan Michelson-Morley ini ternyata baru berhasil terpecahkan dengan teori relativitas khusus yang membentuk landasan bagi konsep-konsep baru tentang ruang dan waktu. Teori ini didasarkan pada dua postulat berikut, yang diajukan Albert Einstein pada tahun 1905.
Postulat I : “hukum-hukum fisika tetap sama pernyataannya dalam semua sistem lembam”.
Postulat II : “laju cahaya memiliki nilai C yang sama dalam semua sistem lembam”.
Nilai cepat rambat cahaya di ruang hampa atau vakum (misalnya, ruang vakum, atau “ruang bebas”) adalah mutlak/sama, tidak tergantung pada gerak pengamat maupun sumber cahaya.
            Postulat pertama pada dasarnya menegaskan bahwa tidak ada satu pun percobaan yang dapat kita gunakan untuk mengukur kecepatan terhadap ruang mutlak. Yang dapat kita ukur hanyalah laju relatif dari dua sistem lembam. Dengan demikian, pertanyaan tentang keberadaan ruang mutlak tidak lagi bermanfaat. Mungkin saja terdapat suatu Sistem Acuan Semesta Agung, tetapi tidak ada satu pun percobaan yang dapat kita lakukan untuk menyingkap keberadaannya.
            Postulat kedua kelihatannya tegas dan pula seolah-olah sederhana. Postulat kedua sering ditulis sembarangan dengan memasukkan bahwa kecepatan cahaya dalam ruang hampa adalah c untuk setiap kerangka acuan. Sebenarnya postulat ini adalah berasal dari dua postulat bukan dari postulat kedua itu sendiri. Postulat kedua tidak lain merupakan konsekuensi dari percobaan Michelson-Morley bahwa laju cahaya dalam arah silang maupun searah sumber adalah sama. Dan postulat kedua ini menegaskan pula bahwa laju cahaya pun akan tetap sama bagi pengamat yang sedang berada dalam keadaan gerak relatif, selama pengamat tersebut merupakan sistem inersial.
            Kedua postulat Einstein yang dibatasi dalam ruang lingkup kerangka inersial itu disebut dengan teori relativitas khusus. Sedangkan teorinya yang dikeluarkan tahun 1917, diperluas dalam kerangka noninersial (kerangka yang dipercepat satu sama lainnya), disebut dengan teori relativitas umum. Teori Einstein ini telah mengubah cara pandang manusia dalam memahami alam dan memecah kemutlakan ruang waktu versi Galileo dan Newton yang bertahan selama kurang lebih 300 tahun. Kita akan lihat beberapa konsekuensi postulat Einstein dan hal-hal menarik yang diturunkan darinya. Eksperimen oleh Bertozzi tahun 1964 tentang elektron yang dipercepat menunjukkan bahwa jika lajunya mendekati c maka energi kinetiknya menuju ¥. Batas laju pada kurva tersebut adalah laju rambat cahaya c =299792458 m/s. Eksperimen di CERN (Lab. Fisika Partikel di Eropa) pada tahun 1964 membuktikan postulat Einstein tentang laju cahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar